Pages

05 February 2014

MASJID DAN PASAR: Sinergi Oposisi Biner Yang (Kadang) Terlupakan (2)

Suatu pagi mullah Nasruddin sedang berjalan-jalan di pasar ketika ia melihat orang-orang berkerumun dengan gairah mengelilingi seorang pedagang yang sedang menawarkan seekor burung. "Sepuluh dinar", Dua puluh", "Lima puluh". Orang-orang itu bersahutan. Dengan keheranan sang mullah ikut merubung. Akhirnya ia tahu bahwa hari itu sebangsa unggas mempunyai pasaran yang baik. Buru-buru dia pulang dan kembali dengan seekor kalkun yang gemuk untuk dijual. Orang-orang memang mengerumuninya, tetapi tawaran tidak ada yang lebih dari lima dinar. Walhasil ia berontak: Unggas sebesar ini hanya lima dinar, uh". Seorang yang berkerumun menyahut cepat, "Iya, karena itulah harganya." Mullah memprotes, "Tetapi kalian baru saja membeli seekor unggas dengan harga lima puluh dinar." Jawab yang hadir, "Betul itu karena unggas itu seekor beo pintar bicara". Mullah pun terdiam. Tetapi sebentar lagi ia angkat bicara, sambil menunjuk pada unggasnya yang tenang dengan bulu-bulu halus dan mata membelalak, "Betul. Unggas saya memang bukan sebangsa tukang ngomong. Tetapi Pemikir." Dan diapun nyelonong pergi.
Mengapa sampai Nasruddin bersikap skeptis seperti di atas? Skeptisisme beliau terjadi karena kecenderungan "masyarakat yang telah mapan dan hidup di zona aman" hanya melihat mekanisme pasar sebagai mekanisme technical, boleh bebas asal tidak menabrak masalah moral dapat dibenarkan. Sindiran itu mungkin perlu dielaborasi lebih lanjut sebagaimana penulis jelaskan di akhir Bagian 1 tulisan mengenai Masjid dan Pasar, telah sampai pada pertanyaan mengenai mengapa Allah sedemikian mencintai Masjid dan sebaliknya sedemikian membenci Pasar. Kuntowijoyo (1999: 97) memahami Hadits Nabi SAW tersebut sebagai bentuk dialektika dan bukan semata-mata hitam putih yang saling menegasikan. Tetapi lebih dari itu, dialektika nanti akan kita lihat di bawah, sarat dengan "ruh" substantif daripada hanya teknis seperti  pembeli-penjual di pasar unggas berdasarkan cerita atas.
Ya, Rasulullah memang menegaskan di banyak Hadits mengenai pentingnya pasar, perdagangan, dan interaksi penjual dan pembeli, dan lain sebagainya. Penjelasan mengenai baiknya pasar, interaksi ekonomi dan semua yang berhubungan dengannya itulah yang banyak didiskusikan di ranah Ekonomi Islam saat ini. Melakukan aktivitas di pasar itu boleh dan "baik" dengan syarat jujur, tidak mengurangi timbangan, tidak menjual barang yang dilarang, tidak boleh melakukan tipu daya, tidak boleh melakukan sumpah palsu, tidak menimbun, tidak memonopoli, dan semua aspek etis maupun tema-tema kebaikan lainnya. Tetapi penulis melihat diskusi seperti itu kok jadinya sangat teknis dan rasional, tidak masuk "ruh" sebenarnya, yaitu Adagium Besar "Masjid".
Rasulullah jelas sekali sebenarnya bukan hanya melakukan oposisi biner atas Masjid dan Pasar, tetapi juga nanti akan kita lihat bahwa apa yang dilakukan beliau adalah sinergi oposisi biner dengan meletakkan "ruh" masjid sebagai payungnya. Kuntowijoyo (1999; 100) mengatakan hal itu sebagai bentuk pertemuan sistem budaya universal dan serba khusus, sebuah lingkaran makna yang akan mempersatukan dengan menunjuk kekuatan kedua seimbol tersebut. Masjid, bagi Kuntowijoyo adalah lingkaran makna yang akan mempersatukan konfigurasi budaya Umat Islam, mempersatukan aspek-aspek budaya menjadi satuan yang koheren. Penjelasan detilnya:
"Budaya sebagai, sebuah sistem ide dan nilai yang dikaitkan bersama secara logis, haruslah mempunya mekanisme integrasi yang membuat baik keseluruhan maupun aspek-aspeknya menjadi satuan yang integral. Jika masjid ditunjuk sebagai sebuah tema yang mempersatukan, maksudnya tentu saja Nabi ingin dengan jelas mengatakan dengan lambang yang konkret, eksistensial, dan sekaligus struktural, tidak hanya esensi dan abstraksi. Demikian juga lambang pasar yang empiris, dan menunjuk pada kekuatan sejarah yang nyata, yang menggerakkan dunia modern". (Kuntowijoyo, 1999: 100-101)
Kuntowijoyo seakan ingin menyelami ketegasan universalitas itu ada pada Masjid dan sebagai pusat budaya, sedangkan Pasar sebagai realitas modern saat ini yang selalu berubah tidak boleh menjadi sentral dan menggerus nilai-nilai utama Islam yang terefleksi dalam bentuk Masjid. Masjid bukan hanya esensi dan abstraksi, tetapi eksistensial, konkret sekaligus struktural, jelas sekali tidak kemudian seperti yang dilakukan oleh Ekonomi Islam saat ini.
Sayangnya, Ekonomi Islam melihat nilai-nilai logis pasar dari "Barat" menjadi ruang penting sedangkan nilai-nilai etis yang ada di masjid selama itu sama dengan logika kemanusiaan dan empiris, maka konsep pasar menjadi panglima. Pasar adalah panglima, sedangkan nilai-nilai kebaikan mengikuti, bahkan selama logika kebaikan universal itu diterima dan "dapat dicocokkan" dengan Islam maka menjadi benarlah Pasar. Artinya pula Pasar sebagai simbol menjadi Payung, sedangkan Masjid sebagai simbol mengikuti "kuasa" Pasar. Pasar, lanjut Kuntowijoyo (1999, 103-104):
"...adalah kekuatan revolusioner dan proses pemasaran masyarakat mempunyai akibat yang jauh bagi perkembangan pasar. Pasar menuntut perilaku rasional dalam menentukan pilihan-pilihan. Dari rasionalisasi yang dimulai oleh pasar ini terjadilah rasionalisasi dalam nilai-nilai. Keraguan terjadi atas perilaku yang berdasar nilai...  menjadi pemujaan kepada perilaku yang berdasar perhitungan ekonomis... Dalam kehidupan beragama hal ini dapat nampak dalam cara orang menentukan sifat keagamaan. Meskipun orang barangkali tidak akan mudah berpindah agama atau mengalami deconversi atau reconversi, tetapi mode of religiosity dapat terpengaruh. Cara beragama disesuaikan dengan situasi pasar juga. Di sinilah munculnya ide-ide sekularisasi yang memisahkan agama dari struktur sosial... yang menempatkan agama "di tempatnya" sendiri. Agama dapat merupakan komoditi konsumen dan lembaga-lembaga dakwah sebagai agen-agen pemasaran. Dalam keadaan ini,... agama yang semula disebarkan dengan cara otoritatif sekarang terpaksa harus dipasarkan."
Reduksi Pasar dari peran "ruh" Masjid jelas sekali sebenarnya dari konsep Pasar yang "dirasionalkan" dalam buku-buku daras, artikel dan riset-riset di ranah Ekonomi Islam. Contoh paling baik adalah buku Ekonomi Islam yang diterbitkan oleh salah satu perguruan tinggi di Indonesia dan banyak dipakai secara nasional. Pasar dalam buku itu disebutkan sebagai:
"...sebuah mekanisme pertukaran barang dan jasa yang alamiah dan telah berlangsung sejak peradaban awal manusia. Islam menempatkan pasar pada kedudukan yang penting dalam perekonomian. Praktik ekonomi pada masa Rasulullah dan Khulafaurrasyidin menunjukkan adanya peranan pasar yang besar. Rasulullah sangat menghargai harga yang dibentuk oleh pasar sebagai harga yang adil. Beliau menolak adanya suatu price intervention seandainya perubahan harga terjadi karena mekanisme pasar yang wajar. Namun pasar di sini mengharuskan adanya moralitas, antara lain, persaingan yang sehat (fair play), kejujuran (honesty), keterbukaan (transparancy) dan keadilan (justice). Jika nilai-nilai ini telah ditegakkan, maka tidak ada alasan untuk menolak harga pasar."
Rasionalisasi Islam lewat Ekonomi dan Bisnis tidak hanya sampai di situ saja, bahkan seluruh logika Ekonomi Islam telah digiring pada bagaimana memotret manusia dalam kerangka pasar "yang diislamkan" atau katakanlah Islamisasi Ilmu. Islamisasi Ilmu Pasar mengedepankan apa itu pasar yang diperbolehkan dalam Islam, dengan menggunakan term-term Barat, yang dianggap sebagai term Islam Klasik, seperti pasar bebas tanpa intervensi asal adil, sehat, jujur dan terbuka. Pasar adalah tempat bertemunya permintaan dan penawaran, keseimbangan pasar, serta ujungnya adalah pasar boleh bebas, dan diperbolehkannya pula ada mekanisme pengawasan atas pasar (Al-Hisbah).
Menjadi logis ketika negeri kita, Indonesia misalnya, atas cara bekerjanya logika pasar, seperti ditegaskan Kuntowijoyo (1999: 104-105) kemudian melihat adanya proses industrialisasi, liberalisasi, urbanisasi, dan masyarakat organisasional lainnya sebagai gejala yang memiliki hubungan langsung maupun tidak langsung serta logis dengan pembentukan "masyarakat pasar". Baginya, di sinilah proses gradasi sekularisasi (wilayah yang dibebaskan dari "ruh" religi) masyarakat Indonesia ("lokal") terjadi, mulai dari yang paling tinggi tingkatannya yaitu masyarakat perkotaan/industrial sampai yang paling rendah yaitu masyarakat perdesaaan/agraris. Mengapa masyarakat perkotaan/industrial paling sekular? Kuntowijoyo melanjutkan:
"Oleh karena industrialisasi adalah penerapan secara rasional ilmu pengetahuan dalam produksi, maka proses rasionalisasi kemudian juga menurunkan status agama sebagai petunjuk yang benar tentang realitas. Dengan adanya realitas baru buatan manusia yang artifisial, rujukan agama yang selalu menunjuk pada realitas pertama dan kedua, yaitu Tuhan dan alam semesta, tidak lagi menjadi daya panggil yang kuat".
Penulis dapat menerjemahkan lebih lugas apa yang dikatakan oleh Kuntowijoyo di atas bahwa proses sekularisasi paling tinggi derajatnya adalah di dunia yang dekat dengan "Pasar", yaitu akuntansi. Mengapa akuntansi? Ya, karena akuntansi adalah perangkat ilmu paling rasional, matematis-numerik, dan terstruktur yang menjadi tulang punggung organisasi bisnis yang nantinya mendorong kapitalisme ekonomi untuk menghitung "uang" dan proses transaksi bisnis yang terekam dalam laporan keuangan. Hal ini menjadi benar bila kita merujuk pada statement Weber (1930; pp. xxxv) dalam bukunya The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism yang fenomenal itu:
"Organisasi-organisasi rasional modern dari aktivitas kapitalistik tidak akan mungkin terjadi tanpa adanya dua faktor penting, yaitu pemisahan bisnis dari pemilik  yang memang menjadi bentuk perusahaan modern, dan memiliki hubungan yang sangat erat dengan tata buku yang rasional"
Dengan adanya logika berfikir ketat rasional, matematis-numerik, dan terstruktur itulah akuntansi telah mendorong masyarakat bisnis dan termasuk di dalamnya akademisi masuk dalam  logika Darwinisme Sosial bernama "Growth" atau "Pertumbuhan" sehingga mengarahkan, yang dikatakan Kuntowijoyo (1999: 106-108),:
"...organisasi-organisasi sosial cenderung menjadi birokrasi dengan  penerapan kebijakan yang memerlukan ketepatan, kecepatan, pengetahuan, kelestarian, subordinasi yang keras, dan kepastian dengan sebanyak mungkin mengurangi harga material dan personal - pendek kata suatu model administrasi birokratis. Sistem big-organization akan menyingkirkan jauh-jauh urusan cinta, dendam, dan segalanya yang bersifat personal, irasional, dan elemen-elemen emosional yang lain... Ciri yang paling utama masyarakat pasar tentu saja ialah Kapitalisme... Dengan kata lain, sesuai dengan semboyan masa kini, manusia modern yang demikian tidak dapat menjadi manusia yang utuh."
Kuntowijoyo (1999: 109) sendiri juga telah mencoba menawarkan "ruh" Masjid harusnya masuk dalam ruang Pasar melalui pendekatan bagaimana dialektika Rasulullah dilakukan untuk merubah situasi kapitalistik Mekkah, lewat penghancuran "berhala-berhala" yang dipertuhankan sebagai pengaman dan pendamai mekanisme pasar masyarakat Arab waktu itu. Menurutnya, masyarakat ber-ruh "Masjid" adalah antitesis dari kesatuan kekuatan masyarakat ber-ruh "Pasar". Rasulullah meyakini bahwa penyebab kemusrikan waktu itu adalah "ruh" pasar yang membentuk rasionalisasi masyarakat Arab.
Stigma rasionalisasinya adalah "tuhan-tuhan" pengaman dan pendamai kejiwaan seluruh mekanisme pasar yang ter-"materialisasi" dan ter-"rasionalisasi"  dalam bentuk berhala. Satu-satunya cara untuk menumbangkan kekuatan pasar, yang dihancurkan adalah perekat pasar itu sendiri, pusat materialisme dan rasionalisme masyarakat Arab, yaitu "berhala". Bila berhala utama adalah pasar, dan disimbolkan oleh Kuntowijoyo sebagai Teori Ekonomi Kapitalis atau Ekonomi Liberal saat ini. Turunan-turunan berhala konkrit waktu itu adalah Suku Arab pro Pasar, di era kita saat ini  berbentuk Multinational Companies. Turunan lainnya saat itu adalah kepala suku Arab, sekarang ini berubah wujud menjadi para bankir dan pengusaha besar. Untuk lengkapnya Kuntowijoyo (1999: 110) menjelaskan di bawah ini:
"Tidak ragu lagi saya yakin bahwa Nabi melihat penyebab kemusyrikan pada waktu itu ialah kekuatan pasar. Ketika pada akhirnya kekuatan masjid berhadapan dengan kekuatan pasar, maka titik strategisnya ialah penghancuran berhala yang menjadi perwujudan konseptual bagi kepentingan pasar dan menjadi alat legitimasi kepentingan ekonomi... Dengan berpikir dialektik kita akan menjadi dinamis, bukankah amar ma'ruf nahi munkar adalah suatu ajaran filsafat perbuatan yang dialektik dan revolusioner... Suku-suku Arab sekarang ini telah menjelma menjadi big corporation dan multinational corporation, kepala-kepala suku adalah bankir-bankir dan pengusaha besar, dan berhala-berhala adalah teori ekonomi kapitalis."
Bila kita mau lebih dalam lagi, proses pembelajaran melepaskan diri dari kekuatan pasar "kapitalisme arab", penumbangan "berhala pasarisme" diawali dan dilakukan Rasulullah dengan mengajak para sahabat ber-Hijrah ke Madinah. Para sahabat diajak untuk menggerus sifat "berhala pasarisme" dengan bertani, berkebun, bercocok tanam, aktivitas produktif lain seperti kerajinan, membuat peralatan dan persenjataan dari logam, selain mengenal pasar yang hanya mereka kenal di Mekkah waktu itu. Para sahabat dari Mekkah (Muhajirin) diajak berinteraksi sosial dengan kesantunan dan berbagi seperti masyarakat Madinah asli (Anshor) lakukan. Para sahabat juga diajarkan lewat hadits "yang lebih baik itu berdagang, tetapi yang lebih baik lagi adalah dengan tanganmu". Makna hadits itu bukan hanya berdagang yang baik, malahan yang paling baik adalah produktif...
Ya, diskusi merubah mentalitas para sahabat penting di Madinah itu, tetapi yang paling penting lagi sebenarnya adalah penumbangan "ruh berhala pasarisme". Jadi? Bagaimana kemudian? Apakah perlu keseimbangan Masjid dan Pasar? Atau Masjid menjadi Payung atau "ruh" atas Pasar? Atau sebaliknya Pasar menjadi Payung asal tetap ber-ruh Masjid? Atau buang saja Pasar dan menggantikannya dengan Ekonomi ber-ruh Masjid saja?
BERSAMBUNG...
Referensi:
Kuntowijoyo. 1999. Masjid atau Pasar: Akar Ketegangan Budaya di Masa Pembangunan. dalam buku: Budaya dan Masyarakat. Tiara Wacana. Yogyakarta.
Weber, M. 1930. The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism. 

No comments: