Pages

20 September 2008

MERAYAKAN IDUL FITRI: MATERIALISASI KEIMANAN ATAU PUNCAK RELIGIUSITAS?

Oleh: Aji Dedi Mulawarman

Lek Salim…sang lugu dari dukuh girirembang…Sosok manusia desa dengan rejeki pas-pasan…Sedang mencari makna keikhlasan dan ketundukan pada Tuhan menjelang Hari Raya Idul Fitri…Mencarilah sang lugu ke sekeliling desa…Tak puas dengan desa…Mencarilah dia ke kota yang katanya tempat segala sesuatu ada…Termasuk mencari ketundukan dan khusyu’nya ibadah…Di tengah kota dia lihat spanduk bertajuk …Mendekat Kepada Tuhan Lewat Ibadah…atau…Mencapai Ibadah Lewat Khusyu’…Setelah sang lugu mendekat spanduk…Tak kuasa dia menahan tangis…Seketika itu juga dia kangen suasana desa…Tanpa Uang dan Tanpa Harta…Tetapi setiap Kehadiran Menuju Kesadaran Ketuhanan…Hanya perlu dibayar dengan keikhlasan guru dan murid

Abstraksi

Mendekati Idul Fitri gerakan  masyarakat Muslim selalu mengalami gejala yang sama. Gejala tersebut dibagi menjadi 3 gejala utama. Pertama adalah gejala sosial, kedua spiritual, dan ketiga religius. Ketiga gejala tersebut kadang memiliki derivasinya dengan berbagai gejala lain sepeti gejala politik, atau saling bersinggungan antar tiga gejala tersebut. Masalahnya adalah gejala sosial yang lebih materialistik ternyata lebih menonjol perangainya dalam konfigurasi kemanusiaan masa sekarang. Tren religiusitas telah termaterialisasikan sedemikian rupa sehingga tidak lagi memiliki relevensi ketakwaan yang diinginkan sebagai Agenda Normatif Ketuhanan, yaitu Menggagas Kesadaran Berketuhanan sebagai Nilai Keutamaan dalam hidup serta Menggagas Implementasi Kesadaran Berketuhanan dalam untuk mencerahkan diri, keluarga, lingkungan sosial dan alam. Semua yang terjadi sekarang adalah bentuk materialisasi religiusitas, materialisasi spiritualitas yang mengarah pada kepentingan ego dunia...Untuk melihat sejauh mana peran ketiga gejala utama menjelang perayaan Idul Fitri berikut disampaikan perkembangan terbaru tiga gejala tersebut.

1. Gejala Sosial

Idul Fitri merupakan aktivitas yang telah menjadi budaya masyarakat. Idul Fitri telah menjadi "ikon kegembiraan" masyarakat menuntaskan agenda pribadi-komunitasnya melakukan kewajiban agama. Ikon kegembiraan setelah selesai dari kewajiban ritus puasa. Seperti kita ketahui ritus puasa dalam Islam sebenarnya secara material-batiniah berhubungan dengan menahan lapar, haus, marah, sedih, berhubungan seksual bagi suami-istri dan aktivitas-aktivitas lain yang berkenaan dengan blow-uphawa nafsu. Hawa nafsu bagi Islam tidak dilarang dalam aktivitas rutin di luar bulan ramadhan, tetapi hawa nafsu ini haruslah yang selalu dekat dengan kebaikan dan mengarah pada puncak kebaikan itu sendiri (nafs muthmainah). Ikon kegembiraan materi dihubungkan dengan belanja untuk keperluan buka puasa atau menumpuk makanan penuh "rasa" pada hari raya. Belanja pakaian dan asesories keluarga lainnyapun tak ketinggalan, seperti sepatu, jam tangan, hp, radio, tape, kendaraan bermotor, dan lainnnya. Ikon kegembiraan batin dihubungkan dengan "mudik" ke kampung halaman untuk menyalurkan kekangenan batin "nasab" atau struktur kekerabatan manusia dengan manusia lainnya.

Maka yang terjadi, dampak internalisasi Ikon Kegembiraan dalam struktur masyarakat, muncullah keriuhan di toko-toko pakaian, elektronik, pasar-pasar, mal-mal, dan tempat-tempat pemuasan nafsu manusia itu. Keriuhan penuh manusia berebut materi (baik yang murah tapi tidak penting kualitas maupun yang mahal tapi tidak penting kuantitas) dengan menebar uang sebagai alat tukarnya. Harapannya mereka menjadi makhluk-makhluk yang "bersih materi" karena telah cantik berbajukan pakaian maupun alat elektronik baru.

Di samping Ikon Kegembiraan, sekarang ini mulai muncul model-model baru yang berkenaan dengan perubahan struktur politik masyarakat pasca reformasi, yaitu desentralisasi politik. Bentuk desentralisasi politik yang paling menonjol adalah Pilkada Gubernur dan Walikota/Bupati serta anggota DPR/DPRD/DPD. Gejala sosial baru ini telah menderivasi menjadi Gejala Politik, yang berbentuk Ikon Kekuasaan. Mau tahu bentuk ikon kekuasaan? Kita lihat banyak calon-calon gubernur/walikota/bupati beramai-ramai mulai mengucapkan selamat berpuasa. Tidak menutup kemungkinan nanti pas hari raya akan muncul agenda menunggangi ikon kegembiraan masyarakat lewat iklan selamat hari raya atas nama calon-calon gubernur/walikota/bupati. Ya ini prediksi, tapi kalo ternyata tidak ada ya sudah, artinya gejala politik belum sampai pada taraf masuk menjadi Ikon Kekuasaan. Ya kan? :) . Tapi sebenarnya yang sudah banyak merebak dan menjadi gejala politik yang terderivasi dari gejala sosial adalah Safari Ramadhan. Bukan hanya bupati, walikota, gubernur, bahkan presiden/wakil persiden-pun memanfaatkan gejala politik ini....wiiii... apa ini bisa disebut sebagai bentuk materialisasi ramadhan? Nanti pasti ada bentuk materialisasi hari raya yang berbalut Ikon Kekuasaan... Iya nggak ya?

2. Gejala Spiritual

Idul Fitri merupakan aktivitas yang juga menjadi budaya masyarakat berkenaan dengan "Ikon Kesadaran" realitas sosiologis. Ikon kesadaran adalah pola tradisional yang masih melekat pada masyarakat kita, yaitu rajin berbuat baik, rajin menikmati sajian-sajian spiritual , mengurangi perselisihan, meningkatkan toleransi sosial, murah senyum,bermaaf-maafan, mengasah hati dan mendekatkan diri pada aras-aras kebenaran Tuhan.  Bahkan bermaaf-maafan ini terefleksi menjadi keunikan-keunikan. Mulai dari silaturahim halal bihalal dari rumah ke rumah untuk mengucapkan mohon maaf lahir batin, silaturahim  halal bihalal kolektif kantor, kampung atau kelompok sosial lainnya. Ada lagi yang menjadi tradisi masyarakat Indonesia dan bahkan Melayu, yaitu kalo di daerah Malang, Jawa Timur, disebut Galak Gampil (tradisi ke rumah-rumah orang baik yang kenal atau tidak untuk bersalam-salaman dan minta maaf yang tujuannya materialistik, yaitu dapat uang riyoyo atau uang galak gampil atau sumbangan). Tetapi secara substansial, gejala spiritual ini lebih dekat pada kesadaran untuk menyelam ke dalam batin spiritual manusia, bahwa setiap manusia perlu interaksi dengan manusia lainnya untuk menjadi manusia yang asali, kembali ke fitrah. Hal ini ditandai dengan lepasnya dosa setelah permintaan maaf telah terucap dan balasan jawaban maaf juga telah tersampaikan. Inti Ikon Kesadaran ini juga yang menarik manusia-manusia di kota besar untuk pulang ke kampung halaman sebagai refleksi kesadaran sifat dasar manusia yang penuh dosa. Moga-moga galak gampil sebagai gejala spiritual tidak seperti gejala sosial yang akan terderivasi menjadi gejala politik, yang muncul menjadi Galak Gampil Politik. wakakakakak....

3. Gejala Religius

Idul Fitri juga tidak bisa lepas dari munculnya "Ikon Ketundukan" tiap individu maupun masyarakat. Aktivitas sedekah, zakat fitrah, zakat maal, shalat id, i'tikaf, dan agenda religius lainnya. Ikon ketundukan ini sebenarnya merupakan bentuk kesadaran yang terukur dengan munculnya kewajiban syari'ah yang perlu dijalankan sebagai refleksi "puasa itu adalah milik-KU" begitu titah Allah. Ikon ini bukan lagi berkenaan dengan kegembiraan materi-batin, atau kesadaran batin spiritual kemanusiaan saja. Tetapi Ikon Ketundukan adalah bentuk melampaui (beyond) materi-batin-spiritual. Itulah bentuk kepasrahan manusia untuk menjalankan apa yang menjadi titah Allah dalam Qur'an maupun syara' yang diushwahkan Rasulullah SAW. Ikon Ketundukan ini lebih bernuansa reflektif yang menghindari hiruk pikuk kegembiraan, menghindari limpah ruah materi, bahkan menghindari ketamakan batin untuk menjadi orang yang merasa diperlukan oleh orang lain karena merasa tidak bersalah, tetapi yang muda perlu minta maaf kepada yang tua misalnya. Dalam tataran ketundukan ini setiap manusia menjadi abdi Allah yang paling pasrah dan harus menegasikan segala sifat kemanusiaannya, tetapi harus menjulangkan sifat Ketuhanannya.

Apakah iya ini masih terjadi? Adakah yang bisa meyakini bahwa gejala religius masih lebih penting daripada gejala sosial di masa penuh dengan materialitas kepentingan? Artinya jaman sekarang ini memang segala sesuatunya tidak pernah lagi ukuran spiritualitas dijadikan ukuran, tetapi segala sesuatu harus diukur dengan materi. Mulai dari aktivitas atau perbuatan itu mengandung kebaikan,atau mengandung kejahatan sampai pernikahan atau perjuangan menuju sesuatu yang lebih baik. Ukurannya semua adalah materialitas. Religiusitaspun kalo perlu diukur dengan materialitas...hehehe. Bahkan religiusitas juga sekarang sudah dijadikan ukuran politik, mulai dari partai politik yang baik adalah partai yang secara material dapat menunjukkan sosok spiritualitasnya hahahahaha....ngeri....

4. Idul Fitri: Mau Beyond Kemana?
Pertanyaan atas ketiga gejala utama (sosial, spiritual, religius) dan gejala ikutannya yang berbentuk kepentingan atau politik, apakah memang telah terjalin sedemikian rupa sehingga religiusitas yang seharusnya merupakan puncak kesadaran spiritual yang melampaui kesadaran individu-sosial yang materialistik, telah dijungkirbalikkan atau terjungkirbalikkan oleh materialitas? Betapa hebatnya materialitas itu telah menghancurkan koridor-koridor kebaikan religius yang asali, yang seharusnya tidak bisa dicapai dengan membeli, alis gratis. Contohnya seperti religiusitas yang sekarang hanya bisa ditempuh dengan cara membayar. Latihan atau training spiritualitas dan religiusitas untuk mendekat kepada Tuhan hanya bisa dicapai ketika kita membayar dengan UANG dan dilaksanakan di HOTEL agar khusyu'. Betapa hebatnya dan mahalnya religiusitas sekarang, sampai-sampai untuk bisa bertemu dengan Tuhan atau mendekat kepada Tuhan, atau shalat yang khusyu' ditentukan dengan pelunasan pembayaran training.

Padahal bila kita lihat sejarah, seperti KH. Ahmad Dahlan, KH. Hasyim Asyari atau HOS Tjokroaminoto di masa awal kesadaran nasional religius sebelum kemerdekaan, mereka bahkan kalau perlu memberi sumbangan uang dari hasil jerih payah mencari rejeki, untuk melakukan training atau penyadaran pentingnya ber-Islam untuk melawan penjajahan kolonial Belanda, Para pendiri bangsa itu berupaya dengan ikhlas tanpa kompensasi materi menyediakan diri dan harta mereka untuk melakukan penyadaran pentingnya nilai-nilai religius dan spiritual Islam sebagai dasar perjuangan kepada masyarakat. Hal ini seperti kontradiksi dengan kondisi sekarang. Penyadaran harus dibayar dengan mahal, dengan uang, para pendakwah harus dibayar atas jerih payahnya melakukan training atau penyadaran pentingnya religiusitas sebagai dasar individu dan gerakan sosial yang lebih baik.

Kalau begitu ada waktunya nanti apakah hari raya idul fitri dan puasa ramadhan harus dibeli juga dengan uang, agar hari raya dan puasa kita benar-benar bermakna religiusitas yang sebenarnya? Ada waktunya nanti masuk masjid harus membayar untuk bisa shalat khusyu' di masjid? Ada waktunya nanti berbuat baik harus membayar, dan segala sesuatu nantinya harus membayar?

Astaghfirullah, mungkin saatnya kesadaran untuk menggapai spiritualitas harusnya mulai dirubah dan didesain ulang, religiusitas perlu didudukkan kembali pada posisinya yang sakral...jangan sampai kepentingan-kepentingan selalu dihubungkan dengan materialitas. Bisakah? Mari berdoa agar religiusitas menjadi puncak kepentingan yang bebas dari kepentingan materi, tetapi memiliki kepentingan yang murni, kepentingan cinta kepada Allah semata...

Jadi? Yang paling penting bagi pendakwah/trainer/pemberi ingat individu dan masyarakat kembali ke fitrah religiusitasnya untuk menyumbangkan ilmu dan hartanya demi kebaikan individu dan masyarakatnya menjadi lebih baik? Begitukah? Atau memang sejarah telah berubah? Para pembawa panji kebenaran perlu dibayar? Kalau begitu wasiat Al Ghazali bahwa seorang guru tidak boleh meminta bayaran atas pengajaran dan pendidikannya karena ikhlas sudah tidak berlaku lagi?