Pages

17 August 2008

MAKNA PROKLAMASI DALAM BEREKONOMI: Dari Hijrah Menuju Idul Fitri

Oleh: Dr. Aji Dedi Mulawarman

Abstraksi

Implementasi proklamasi seperti termaktub dalam naskah proklamasi itu sendiri yang dibacakan oleh Soekarno atas nama rakyat Indonesia, yaitu kata KEMERDEKAAN. Makna dan substansi dari kata kemerdekaan bisa diartikan Independence atau Freedom. Dalam tradisi Islam makna Independence atau Freedom sedikit berbeda, bukan hanya berkenaan dengan kemandirian ataupun kebebasan saja, tetapi lebih jauh dari itu, yaitu IDUL FITRI. Idul Fitri yang menekankan pada kata FITRAH adalah makna paling baik dalam Islam yang merefleksikan Kemerdekaan. Karena FITRAH sebenarnya telah dicontohkan Rasulullah sebagai tonggak kemandirian setiap Muslim dalam menjalankan kehidupannya, melalui HIJRAH. Hijrah di Indonesia adalah hijrah dari penindasan menuju kebebasan. Semangat bebas dari penindasan ekonomi merupakan agenda penting di era neoliberalisme sekarang.  

Makna terpenting dari proklamasi berekonomi Indonesia saat ini, sekarang ini, bukan lagi hanya mengenang dan merefleksikan pembebasan diri para pejuang kemerdekaan untuk benar-benar bebas dari penindasan militer asing. Makna proklamasi berekonomi adalah menjalankan Hijrah menuju Fitrah Manusia Indonesia, Fitrah Rakyat Indonesia, Fitrah Negara Tercinta ini dari penjajahan Ekonomi yang tengah melanda negara ini. Proklamasi Berekonomi untuk membebaskan diri dari Penjajahan Ekonomi berjubah Neoliberalisme melalui Regulasi, Liberalisasi dan Perdagangan Bebas. Inilah makna utama dari Proklamasi Berekonomi.

 

 

PENDAHULUAN

Proklamasi adalah saat paling penting dari seluruh rakyat Indonesia, proklamasi 17 Agustus 1945 adalah peristiwa kemerdekaan Indonesia. Momentum Proklamasi adalah momentum deklarasi nasional seluruh rakyat Indonesia menuju kebebasan hakiki setiap manusia. Setiap manusia berhak atas kehidupan yang mandiri, berdaulat, mendapatkan hak-hak hidupnya, hak-hak individunya, hak-hak bermasyarakatnya, hak-hak politik, hak-hak hukum, hak-hak ekonomi, hak-hak bersuara, hak-hak berkumpul dan menyampaikan pendapatnya, serta yang paling penting adalah hak-hak untuk tidak ditindas oleh orang, lembaga maupun negara lain, hak untuk menikmati rezeki serta barakah dari Allah. 

Implementasi proklamasi seperti termaktub dalam naskah proklamasi itu sendiri yang dibacakan oleh Soekarno atas nama rakyat Indonesia, yaitu kata KEMERDEKAAN. Makna dan substansi dari kata kemerdekaan bisa diartikan Independence atau Freedom. Dalam tradisi Islam makna Independence atau Freedom sedikit berbeda, bukan hanya berkenaan dengan kemandirian ataupun kebebasan saja, tetapi lebih jauh dari itu, yaitu IDUL FITRI. Idul Fitri yang menekankan pada kata FITRAH adalah makna paling baik dalam Islam yang merefleksikan Kemerdekaan. Karena FITRAH sebenarnya telah dicontohkan Rasulullah sebagai tonggak kemandirian setiap Muslim dalam menjalankan kehidupannya, melalui HIJRAH. BAGAIMANA SEBENARNYA MAKNA PROKLAMASI KHUSUSNYA DALAM HAL PROKLAMASI BEREKONOMI?

 

MAKNA FITRAH DAN HIJRAH DALAM HIJRAH RASULULLAH: Perspektif Ekonomi

Fitrah secara etimologis berasal dari kata Arab yang berarti sifat, asal kejadian, kesucian, bakat atau tabiat. Fitrah biasanya dimaknai banyak ulama sebagai kesucian. Menurut KH. Hussein Muhammad (Pikiran Rakyat, 2005) fitrah terkait dengan hadits Rasulullah "Islam itu adalah agama fitrah". Islam sebagai agama fitrah juga telah ditegaskan dalam QS. 30: 30 sebagai berikut:

Maka hadapkanlah dirimu dengan lurus kepada agama (Allah), (tetaplah) atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia sesuai fitrahnya. Tidak ada perubahan bagi ciptaan Allah. Itulah agama yang lurus tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.

Hamka dalam tafsir Al-Azhar Juz XXI memperjelas makna fitrah dari ayat tersebut. Menurutnya kalimat "Fitrah Allah yang telah menciptakan manusia sesuai fitrahnya" menjelaskan bahwa setiap manusia harus selalu memelihara fitrahnya sendiri. Fitrah keaslian dan kemurnian dalam jiwa setiap manusia sebelum terintervensi pengaruh lain, yaitu mengakui adanya Allah sebagai pencipta, penguasa dan pemilik segala sesuatu di alam semesta.

Ragib al-Isfahani seperti dijelaskan AA Gym (Pikiran Rakyat, 2005) memaknai kata fitrah dengan merujuk pada kekuatan manusia untuk mengetahui agama dan Tuhan yang menciptakannya. Makna tersebut lanjut AA Gym selaras QS. 43: 87:

Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: "Siapakah yang menciptakan mereka?" mereka menjawab Allah. Maka bagaimanakah mereka dapat dipalingkan (dari menyembah) Allah?

 

Mengembangkan Ma'isyah berbasis Konsep Kembali ke Fitrah 

Bila dilihat hubungan antara konsep fitrah dan hijrah  yang dilakukan Muhammad saw., sebenarnya adalah untuk segera merealisasikan reorientasi pola pikir ekonomi sesuai sifat dasarnya, yaitu nilai ma'isyah. Agenda kembali ke fitrah atas nilai ma'isyah dapat ditelaah dari hadits Muhammad saw. ketika ditanya oleh sahabat beliau mengenai pekerjaan utama manusia. Beliau menjawab bahwa pekerjaan yang utama adalah pekerjaan tangan seseorang dan setiap jual-beli yang bersih (Al-Malibari 1993, 193). Hadits ini biasanya hanya dimaknai sepotong-sepotong, bahkan dianggap sebagai hadits jual-beli. Bila kita lihat lebih dalam makna hadits tersebut, jelas terdapat urutan dan kesatuan aktivitas bisnis. Berkenaan dengan urutan, ma'isyah yang pertama adalah aktivitas produksi (disimbolkan dalam pekerjaan tangan seseorang). Sedangkan ma'isyah kedua adalah jual-beli. Berkenaan kesatuan, Muhammad saw. menekankan kesatuan aktivitas produksi dan jual beli sebagai fitrah berusaha yang asali.

Kembali ke fitrah merupakan proses mengangkat kembali sifat dasar manusia untuk selalu dekat pada realitas masyarakat dan alam sekaligus. Kembali ke fitrah tidak hanya berkaitan dengan materialitas sifat dasar kemanusian, tetapi merupakan refleksi keimanan dan ketaatan seseorang melakukan ibadah. Aktivitas sesuai fitrah mensyaratkan adanya interaksi organis dengan alam sekaligus bekerja sama melakukan hubungan sosial penuh persaudaraan. Kembali ke fitrah diterapkan Muhammad saw. di Madinah pasca hijrah dalam bentuk persaudaraan antara kaum muhajirin (masyarakat Mekkah yang hijrah ke Madinah) dan anshar (masyarakat asli Madinah). 

Persaudaraan antara muhajirin dan anshar menurut Jazuli (2006, 274) telah mengukir nilai-nilai kemanusiaan dan sosial yang ideal. Nilai-nilai itu dimulai dengan kemuliaan nilai pekerjaan, yaitu gigih bekerja mencari rezeki (ma'isyah) untuk kebaikan diri, keluarga serta masyarakat. Ma'isyah sesuai fitrahnya dijelaskan Jazuli (2006, 275) dilakukan berdasar keadilan sosial bercirikan kebenaran, keadilan dan saling membantu. Berikut penjelasan beliau:

Tak diragukan lagi bahwa pengalaman yang dialami kaum Muhajirin di Madinah merupakan praktik amal pertama berdasarkan ajaran Islam yang dengan cepat memberikan produk dan hasil dengan multiefek. Efek yang dirasakan di kalangan mereka kaum muslimin saat itu dan egfek yang menjadi kontribusi besar bagi bangunan daulah Islam. Itulah tujuan pokok dari prinsip keadilan sosial masyarakat dalam Islam. Sebuah amal Islami adalah kekuatan yang terbentuk dari kerjasama antar personal dengan segala kekurangan dan kelebihannya sehingga menumbuhkan hubungan sosial kemanusiaan yang benar di antara manusia. Berdiri di atas kebenaran, keadilan, dan saling membantu. Ia menghapuskan nilai-nilai yang rusak yang selalu memihak si kuat dan menindas si miskin.

Bekerja sebenarnya memiliki kedudukan sejajar dengan iman sebagaimana ditegaskan Jazuli (2006, 275), disebut dalam Al Qur'an lebih dari tiga ratus kali. Kesejajaran iman dan bekerja ini dijelaskan oleh Dawwabah (2006, 31) dengan mengutip penegasan Rasulullah saw. (Riwayat Abu Hurairah ra.):

Sesungguhnya di antara jenis dosa ada dosa yang tidak dapat ditebus dengan shalat, puasa, haji dan umrah. Sahabat bertanya: "Lantas apa yang bisa menebusnya ya Rasululah?". Beliau menjawab: "Yaitu kesungguhan dalam mencari rezeki." 

Ma'isyah sebagai dasar bekerja, lanjut Jazuli (2006, 275), apabila dijalankan dengan sungguh-sungguh baik untuk kepentingan diri pribadi maupun untuk masyarakat, serta untuk memenuhi kebutuhan secara materi dan maknawi, diletakkan posisinya sejajar oleh Allah dengan keimanan.

 

Mengembangkan Rizq berbasis Konsep Mengkreasi Fitrah

Rasulullah melihat bahwa pola perdagangan dan mendapatkan rezeki penduduk Mekkah telah meninggalkan sifat alam dan tradisi sehingga membentuk masyarakat Arab kapitalistik. Rasulullah kemudian melakukan proyeksi baru melalui hijrah ekonomi. Hijrah ekonomi menyeimbangkan pola dagang masyarakat Mekkah dengan pola produktif masyarakat Madinah. Seperti diketahui mata pencaharian utama masyarakat Madinah adalah pertanian, di samping pertambangan, kerajinan dan juga jual beli. Uswah Muhammad saw. pasca hijrah menempatkan keseimbangan mendapatkan rezeki bercirikan keseimbangan tiga pilar ekonomi, yaitu rezeki produktif, rezeki ekstraktif, dan rezeki intermediasi.

Penyadaran mengkreasi fitrah untuk mendapatkan rezeki yang tidak mementingkan kekayaan materi terutama akibat aktivitas intermediasi berlebihan. Mementingkan aktivitas intermediasi berlebihan jelas menegasikan relasi "batin" manusia, masyarakat serta alam.  Aktivitas intemediasi berlebihan juga akan mereduksi nilai-nilai spiritualitas yang asali. Mendapat rezeki yang hanya dijalankan dalam salah satu rantai ekonomi, yaitu intemediasi seperti perdagangan atau commerce, akan meruntuhkan sistem ekonomi secara keseluruhan.

Hatta (1947, 56) menjelaskan bahwa rantai ekonomi (perniagaan), memiliki tiga rantai utama, yaitu perniagaan mengumpulkan, perantaraan dan membagikan. Perniagaan mengumpulkan berada dalam domain ekonomi produksi, perniagaan perantaraan berada dalam domain perdagangan antara perusahaan besar, sedangkan perniagaan membagikan adalah pertemuan antara pedagang dan pembeli. Ketika sistem ekonomi hanya berputar pada kepentingan perdagangan dan menegasikan kepentingan perniagaan pengumpulan maupun membagikan, maka yang terjadi adalah penumpukan kekayaan pada titik perniagaan perantaraan (intermediasi) dan permainan harga yang dominan. Dampaknya adalah reduksi kepentingan produsen dan konsumen, bahkan alam.

Jalan tengah yang dilakukan Muhammad saw. untuk mengkreasi fitrah, yaitu mensinergikan usaha produktif, ekstraktif dan intermediasi. Caranya mempertemukan tradisi intermediasi kaum muhajirin (dagang dan jual beli) dengan tradisi usaha produktif dan ekstraktif kaum anshor (pertanian, kerajinan dan pertambangan). Aktivitas intermediasi tidak lagi dijadikan kegiatan utama mendapatkan rezeki. Aktivitas seperti bertani, beternak, berkebun, menjadi pengrajin, bertambang serta akitivitas lainnya juga memiliki kedudukan sama dan setara dengan berdagang. Bahkan Muhammad saw. misalnya menegaskan bertani adalah pekerjaan penuh keberkahan, sebagaimana sabdanya (Bablily 1990, 134-135):

Setiap tanaman yang ditanam seorang Muslim apabila dimakan maka ia menjadi shadaqah, dan apabila dicuri maka ia menjadi shadaqah, dan apabila dimakan binatang buas ia menjadi shadaqah, dan apabila dimakan burung maka ia menjadi shadaqah, dan tidaklah seorang Muslim mendapatkan bahaya kecuali shadaqah.

Ketika seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah:

Wahai Rasulullah kekayaan apakah yang paling utama? Maka beliau menjawab: Tanah yang subur, yang diolah oleh pemiliknya dan ditunaikan haknya waktu panennya.

Mengkreasi fitrah seperti telah dilakukan oleh Muhammad saw. dalam fase proses kembali ke fitrah, harus selalu dekat dengan sifat dasar manusia, yaitu dekat kepada masyarakat dan alam sekaligus. Aktivitas hidup harus selalu berinteraksi dengan alam sekaligus bekerja sama melakukan hubungan sosial penuh persaudaraan (antara muhajirin dan anshar). Mengkreasi fitrah berbentuk interaksi sosial-alam secara ekonomi diimplementasikan misalnya melalui perjanjian pembagian hasil panen pertanian 50:50 yang disebut muzara'ah dan musaqat ( As-Sadr 1989 dalam Karim 2004, 98 ). Caranya, kaum anshar diminta untuk tidak serta merta menyerahkan tanah ladang dan kebun kepada kaum muhajirin, tetapi kaum muhajirin diminta melakukan kerja sama bercocok tanam di atas ladang dan kebun milik kaum anshar. Langkah Muhammad saw. tersebut menurut As-Sadr (1989) dalam Karim ( 2004, 98 ) di satu sisi memberikan pekerjaan bagi kaum muhajirin, di sisi lain mendorong peningkatan aktivitas produksi sehingga hasil produksi lahan kaum anshar meningkat. Aspek penting lain adalah penguatan kerja sama, persaudaran dan jalinan silaturrahim yang terus menerus antara kedua pihak.

 

Mengembangkan Maal berbasis Kreasi Fitrah Menuju Kesejahteraan

Agenda ketiga Muhammad saw. menginginkan bentuk keadilan dan kedermawanan sosial setelah setiap Muslim mendapatkan rezeki. Keadilan dan kedermawanan sosial bagi Muhammad saw. sesuai sifat dasar kemanusiaan yang dijiwai nilai-nilai Ketuhanan. Proses ini dapat disebut sebagai "kreasi fitrah menuju kesejahteraan (from nature to the well-being of society)", dimana penentuan kepemilikan kekayaan berdasarkan keadilan sosial.

Keadilan sosial atau mashlahah, seperti telah dijelaskan di bab-bab terdahulu merupakan tujuan syari'ah itu sendiri. Mengapa keadilan sosial atau mashlahah dijadikan sebagai dasar tujuan syari'ah? Bila dilihat dari perspektif ekonomi pasca hijrah di Madinah, jelas sekali tujuan akhir dari setiap aktivitas ekonomi yang dicontohkan Rasulullah, adalah keadilan sosial, kesejahteraan sosial dan masyarakat serta alam. Masyarakat Muslim di Madinah setelah hijrah mempraktikkan kepemilikan maal atau kekayaan dalam perspektif kedermawanan. Kepemilikan kekayaan dalam perspektif kedermawanan merupakan antitesis kepemilikan kekayaan terpusat pada satu kekuatan tertentu seperti perilaku masyarakat Mekkah.

Penguasaan terpusat pada para saudagar berdampak kekuatan sosial dan politik yang tidak sehat. Monopoli dan oligopoli ekonomi menyebabkan lemahnya sistem kemasyarakatan. Ketika kekuasaan berada pada tangan pengusaha, maka masyarakat menjadi sub-ordinat yang "kalah", dan penguasa menjadi "simbol" serta "boneka" para saudagar. "Koreografi" kehidupan yang tertata secara timpang itulah yang ingin dirubah Muhammad. Caranya adalah melakukan hijrah sosial, politik, ekonomi, budaya yang dipayungi spiritualitas-keimanan dalam kerangka Islam.

Menurut Mulawarman (2006a, 286-287) pandangan mengenai keadilan berekonomi Islam berbeda dengan pandangan Barat. Islam melihat nilai keadilan sebagai keadilan Ilahi yang melandasi pemikiran ekonomi dan akuntansi dalam Islam sejak awal. Menurut Chapra (2000, 211) istilah adil dan keadilan dalam Al Qur'an menjadi penting sekali, karena dari istilah saja sampai mencakup tidak kurang dari seratus ungkapan yang berbeda-beda. Bahkan lanjut Chapra (2000, 212) Al Qur'an menempatkan keadilan sebagai bagian terpenting dalam struktur keimanan dalam Islam. Penegasan itu terungkap dalam Al Qur'an:

Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah karena adil itu lebih dekat kepada takqwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. ( QS. 5: 8 )

Keadilan Ilahi harus diwujudkan secara nyata dalam kesejahteraan sosial. Shihab (2000, 129) dalam Mulawarman (2006a, 286) menegaskan kesejahteraan sosial dimulai dari perjuangan mewujudkan dan menumbuhkan aspek akidah dan etika pada diri pribadi, karena dari pribadi yang seimbang akan lahir masyarakat seimbang.

AppleMark

 

MENUJU PROKLAMASI EKONOMI MELALUI PENDIDIKAN PENUH CINTA

Ketika ekonomi tidak bebas nilai, tetapi sarat nilai, otomatis ekonomi konvensional yang saat ini masih didominasi oleh sudut pandang Barat, maka karakter ekonomi pasti kapitalistik, sekuler, egois, anti-altruistik. Ketika ekonomi memiliki kepentingan ekonomi-politik MNC's (Multi National Company's) untuk program neoliberalisme ekonomi, maka ekonomi yang diajarkan dan dipraktikkan tanpa proses penyaringan, jelas berorientasi kepentingan neoliberalisme ekonomi pula.

Globalisasi dan neoliberalisme semuanya mengarah kepentingan ekonomi dengan alat bantu teknologi yang makin tak terkendali. Kepentingan pengembangan ekonomi dan teknologi neoliberalisme masih bertumpu self interest dan antroposentris. Kondisi seperti itu berdampak pada lalu lintas moneter dan penguasaan  teknologi serta produksi hanya terkonsentrasi pada segelintir perusahaan multinasional. Konsentrasi memunculkan hegemoni politik ekonomi dan menggeser kekuatan ekonomi negara berkembang menjadi pemain pinggiran yang tak pernah terselesaikan nasibnya. Negara dan ekonomi rakyat di dalamnya akan terhegemoni menjadi 'perusahaan jajahan kolonial' dari perusahaan multinasional. Bentuk hegemoni MNC's tersebut adalah sub-ordinat kekuasaan perusahaan multinasional, dan didukung pemerintahan yang juga korup. Bentuk konkrit hegemoni MNC's dalam akuntansi menurut Graham dan Neu (2003) dengan menerapkan teknologi dan praktik akuntansi yang dijalankan MNC's dalam bentuk tata kelola aliran kas dan praktik standarisasi. Tata kelola aliran kas dan praktik standarisasi dilakukan melalui sistem "aliran lintas batas melampaui ruang dan waktu". Keduanya jelas sekali bermuatan ekonomi politik untuk kepentingan MNC's melalui berbagai institusinya seperti IFM (International Financial Markets), IASB (International Accounting Standard Boards), IMF (International Monetary Fund), WTO (World Trade Organization), WB (World Bank), dan lainnya.

Banyak agenda membangun peradaban yang lebih baik, digagas dari segala penjuru. Membangun peradaban tidak dapat hanya dilakukan parsial. Membangun peradaban harus dilakukan secara bersama melalui mekanisme organis dengan kesamaan substansi menuju bentuk peradaban yang sama, Peradaban Islam berbasis Tawhid.

Salah satu tugas peradaban adalah proses pencarian dan penggalian (ilmu) ekonomi. Pencarian dan penggalian tidak dapat dijalankan hanya dengan proses adopsi tanpa adaptasi. Pencarian dan penggalian juga harus dilakukan dengan cara pencerahan sekaligus pembebasan sesuai realitas di mana ekonomi dikembangkan. Pembebasan dan pencerahan menurut Mulawarman (2006b) adalah proses mempertemukan dua dimensi praxis menuju pencerahan yang berujung perubahan pemahaman dan praxis baru. Habermas (Held 1980, 249-259) berusaha melakukan pertalian antara teori dan praxis yang telah ditanggalkan Marx dan Kapitalisme. Memahami praxis emansipatoris sebagai dialog-dialog dan tindakan-tindakan komunikatif yang menghasilkan pencerahan. Habermas menempuh jalan konsensus dengan sasaran terciptanya demokrasi radikal yaitu hubungan sosial dalam lingkup komunikasi bebas penguasaan.

Masalahnya, emansipasi lanjut Mulawarman (2006b) tidak mempertautkan sesuatu yang ada dan hanya bersifat material saja dengan komunikasi untuk membentuk makna baru. Emansipasi yang dilakukan di sini adalah melakukan redefinisi makna terlebih dahulu untuk kemudian dilakukan ekstensi makna baru dengan nilai-nilai etis, batin dan spiritual. Emansipasi di sini dilakukan dengan langkah penyucian batin maupun spiritual.

Menurut Mulawarman (2006c) melakukan perubahan melalui penyucian harus dimulai dari pendidikan ekonomi. Caranya adalah pencerahan (enlightenment) dan pembebasan (emansipation) tujuan pendidikan. Pendidikan ekonomi memegang peranan penting untuk memunculkan nilai-nilai baru dan konsep pembelajaran ekonomi pro-Indonesia. Tugas dan akuntabilitas akademisi ekonomi adalah tugas kesejarahan yang tak mungkin berjalan dan berhenti di satu titik tertentu, tetapi harus selalu melakukan proses perubahan sesuai dengan dinamika masyarakat. Seperti ditegaskan oleh Ainsworth (2001):

Perhaps, as educators, we spend too much time  trying to "prove" what we teach rather than striving to "improve" what and how we teach.

Pendidikan ekonomi sekular hanya cinta dunia dan berujung pada kepentingan keuntungan pribadi (antroposentrik) dan materialistik (kapitalistik) semata. Pendidikan ekonomi sekular diorientasikan pada self-interest dan kesadaran menikmati kesejahteraan materi. Pendidikan ekonomi yang asasi adalah pendidikan ekonomi dengan cinta. Cinta bukan hanya bersifat materi tetapi juga batin dan spiritual. Itulah truly love atau hyperlove (cinta melampaui). Pendidikan ekonomidengan cinta dengan demikian dijalankan untuk menumbuhkan dan membangun kesadaran insaniah, kesadaran menuju fitrah Ketuhanan, didasari rasa saling percaya dan kejujuran serta menghilangkan kecurigaan dan penghianatan.

 

AGENDA MENDESAK

Makna terpenting dari proklamasi berekonomi Indonesia saat ini, sekarang ini, bukan lagi hanya mengenang dan merefleksikan pembebasan diri para pejuang kemerdekaan untuk benar-benar bebas dari penindasan militer asing. Makna proklamasi berekonomi adalah menjalankan Hijrah menuju Fitrah Manusia Indonesia, Fitrah Rakyat Indonesia, Fitrah Negara Tercinta ini dari penjajahan Ekonomi yang tengah melanda negara ini.

Proklamasi Berekonomi untuk membebaskan diri dari Penjajahan Ekonomi berjubah Neoliberalisme melalui Regulasi, Liberalisasi dan Perdagangan Bebas. Pertama, Proklamasi Dekonstruksi Regulasi dengan cara melakukan revisi besar-besaran seluruh Undang-Undang serta Peraturan turunannya dari cengkeraman Kebijakan Ekonomi Pro MNC's (Multi National Company's). Kedua, Proklamasi Dekonstruksi Liberalisasi dengan cara melakukan revisi besar-besaran seluruh agenda penjualan aset dan perusahaan nasional maupun BUMN dari pemindahan saham kepada perusahaan maupun negara asing. Paling penting lagi adalah kemandirian berekonomi, salah satu caranya adalah nasionalisasi perusahaan-perusahaan demi terbentuknya kemandirian ekonomi nasional. Ketiga, Proklamasi Dekonstruksi Perdagangan Bebas dengan cara mengangkat potensi ekonomi rakyat lewat pemberdayaan dan bukannya memperdayai ekonomi rakyat sampai siap menjadi pelaku ekonomi di negeri sendiri dan mampu melakukan persaingan secara global. Tekanan pentingnya adalah pemerintah segera melakukan kebijakan komprehensif berdasarkan kepentingan ekonomi rakyat. Inilah makna dari Proklamasi Berekonomi dengan Cinta, Ekonomi penuh cinta atas rakyat Indonesia.

PERTANYAAN AKHIRNYA: APAKAH PROKLAMASI KITA DAPAT MEWUJUDKAN INDEPENDENCE, FREEDOM ATAU BAHKAN LEBIH JAUH MENJADI IDUL FITRI BAGI MASYARAKAT INDONESIA? Hanya Allah Yang Maha Tahu dan hanya kita yang memiliki fitrah sebagai manusia sebenar-benar manusia sajalah yang dapat mewujudkannya.

No comments: