JEBAKAN KEBUDAYAAN KITA: HEGEMONY AND POWER?
Oleh: Aji Dedi Mulawarman
Mengapa selalu terjadi kontradiksi perhitungan suara setiap kali diadakan pilkada? Mengapa selalu terjadi kontradiksi agenda ujian akhir nasional? Kontradiksi kebijakan konversi migas nasional? Kontradiksi pembangunan mall-mall di kota besar? Kontradiksi persetujuan RUU menjadi UU? Kontradiksi Al Qiyadah Al Islamiyah? Kontradiksi bank syari'ah itu syari'ah atau tidak? Kontradiksi tanah adat itu punya hak atau pengusaha yang memiliki SK penambangan/HPH lebih berhak? Bahkan kontradiksi perlu dipenjara atau tidak yang katanya Roy Marten itu “hanya korban narkoba”? Konktradiksi-kontradiksi di negara kita tercinta ini, bila diamati setiap hari terjadi di hampir seluruh kebijakan hubungannya dengan kepentingan publik.
Banyak pandangan, melihat realitas seperti ini sebagai perjalanan menuju demokratisasi publik. Banyak juga yang melihat realitas seperti itu sebagai ketidakdewasaan masyarakat dan pengelola kebijakan publik. Bahkan ada yang melihat realitas seperti itu ditunggangi kepentingan maupun interaksi antroposentristik, kelompok, pengusaha, politisi atau pressure group lain. Ujung-ujungnya semua berkeinginan menuju kesepakatan musyawarah-mufakat yang diagendakan bersama. Hasilnya? Belum tentu sesuai tujuan ideal demokrasi, suara rakyat suara Tuhan. Yang sering terjadi malah, suara rakyat suara bayaran.
Jadi? Apakah benar kita sedang menuju demokrasi publik? Apakah benar kita sedang menuju pendewasaan masyarakat maupun penyelenggara negara? Apakah benar kita sedang menuju pengendalian terselubung oleh pressure group?
Bila ditarik lebih jauh, terdapat tiga kata kunci, demokrasi, pendewasaan bernegara dan pressure group. Bisa saja terdapat kata kunci lainnya. Bisa saja terdapat argumen lain di luar tiga kata kunci tersebut, tetapi sepanjang yang diketahui secara umum dan menjadi hipotesis dominan menurut penulis ya tiga kata kunci itu. Tiga kata kunci tersebut pula sebenarnya merupakan realitas kesejarahan di muka bumi ini. Termasuk di Indonesia. Meskipun terdapat istilah atau simbol-simbol lain sesuai jamannya. Interaksi, kontradiksi, tarik menarik kepentingan, semua terjalin dalam tiga kata kuci tersebut.
Terus, kenapa kita, Indonesia, tidak pernah berhasil menggapai keselarasan atas tiga kata kunci tersebut? Padahal, masih menurut pengamatan penulis, setiap negara ketika berhasil menyelesaikan masalah atas tiga kata kunci tersebut, maka negara akan mengalami kemajuan dan kebesarannya. Kita lihat sejarah negara-negara yang berhasil leading sebagai negara maju, pasti telah dapat melakukan “manajemen” tiga kata kunci tersebut. Amerika Serikat, Negara-negara Eropa, Jepang, Cina, Korea Selatan, Singapura, dan lainnya. Kesimpulannya? Tiga kata kunci tersebut harus di-manage sedemikian rupa, dan negara berhasil menggiring menuju kemajuannya. Apakah itu juga benar?
Tapi jangan lupa, ternyata negara-negara tersebut sebenarnya tidak menyelesaikannya. Manajemen tiga kata kunci tersebut ternyata digiring pada interaksi lintas negara. Negara-negara tersebut meng-ekspor tiga kata kunci menjadi kata kunci untuk berhadapan dengan negara lainnya. Untuk apa? Inilah yang disebut “Hegemony and Power”. Ya, kesatuan dari dua kata itulah yang mungkin penting dan merupakan perasan dari tiga kata kunci, demokrasi, pendewasaan bernegara, dan pressure group. Setiap negara maju sebenarnya berhasil melakukan “trick and trap” tiga kata kunci menjadi “weapon” untuk menggapai “hegemony and power”. Hegemony politik, ekonomi, sains dan teknologi, dan apapun yang mungkin, atas ratusan negara yang pasrah, gamang maupun menentang. Power regulasi internasional dan pencitraan media, sosial dan apapun yang mungkin atas ratusan negara yang pasrah, gamang maupun menentang.
“Hegemony and Power”, bila kita amati, saat ini telah memasuki relung demokrasi, pendewasaan bernegara dan pressure group di tiap negara yang pasrah, gamang maupun menentang. Akankah itu berlanjut? Apakah Indonesia telah pula larut dalam ketidakberdayaan Hegemony and Power dari luar? Sedemikian parahkah kondisi kita?
Mungkin benar, mengapa Sudjatmoko sejak lama mengingatkan kita untuk membangun kemandirian budaya kita sendiri, Itu pulalah yang dilakukan oleh Jepang saat Restorasi Meiji dengan program membangun kembali peradaban dan budaya mereka menghadapi modernisasi; Cina dengan Program Tirai Bambunya untuk menghadapi Globalisasi dan Neoliberalisme, dan lainnya.
Tetapi semuanya itu hanya program menghadapi perubahan dan kita larut di dalamnya, bercengkerama serta menjadi bagian untuk menegakkan “Hegemony and Power”. Selanjutnya, melakukan intervensi dan penindasan pada setiap wilayah yang diperlukan untuk menegakkan harga diri serta langgengnya “Hegemony dan Power”.
Atau ada jalan lain yang lebih altruistik? Ya mungkin kita perlu melakukan seperti dicontohkan Muhammad saw., melakukan hijrah dan mendeklarasikan Piagam Madinah untuk membangun Peradaban berusia 1000 tahun penuh kesetaraan dan keberkahan. Bukannya hegemony dan power. Wallahua'lam.
Singosari, 15 Nopember 2007
Oleh: Aji Dedi Mulawarman
Mengapa selalu terjadi kontradiksi perhitungan suara setiap kali diadakan pilkada? Mengapa selalu terjadi kontradiksi agenda ujian akhir nasional? Kontradiksi kebijakan konversi migas nasional? Kontradiksi pembangunan mall-mall di kota besar? Kontradiksi persetujuan RUU menjadi UU? Kontradiksi Al Qiyadah Al Islamiyah? Kontradiksi bank syari'ah itu syari'ah atau tidak? Kontradiksi tanah adat itu punya hak atau pengusaha yang memiliki SK penambangan/HPH lebih berhak? Bahkan kontradiksi perlu dipenjara atau tidak yang katanya Roy Marten itu “hanya korban narkoba”? Konktradiksi-kontradiksi di negara kita tercinta ini, bila diamati setiap hari terjadi di hampir seluruh kebijakan hubungannya dengan kepentingan publik.
Banyak pandangan, melihat realitas seperti ini sebagai perjalanan menuju demokratisasi publik. Banyak juga yang melihat realitas seperti itu sebagai ketidakdewasaan masyarakat dan pengelola kebijakan publik. Bahkan ada yang melihat realitas seperti itu ditunggangi kepentingan maupun interaksi antroposentristik, kelompok, pengusaha, politisi atau pressure group lain. Ujung-ujungnya semua berkeinginan menuju kesepakatan musyawarah-mufakat yang diagendakan bersama. Hasilnya? Belum tentu sesuai tujuan ideal demokrasi, suara rakyat suara Tuhan. Yang sering terjadi malah, suara rakyat suara bayaran.
Jadi? Apakah benar kita sedang menuju demokrasi publik? Apakah benar kita sedang menuju pendewasaan masyarakat maupun penyelenggara negara? Apakah benar kita sedang menuju pengendalian terselubung oleh pressure group?
Bila ditarik lebih jauh, terdapat tiga kata kunci, demokrasi, pendewasaan bernegara dan pressure group. Bisa saja terdapat kata kunci lainnya. Bisa saja terdapat argumen lain di luar tiga kata kunci tersebut, tetapi sepanjang yang diketahui secara umum dan menjadi hipotesis dominan menurut penulis ya tiga kata kunci itu. Tiga kata kunci tersebut pula sebenarnya merupakan realitas kesejarahan di muka bumi ini. Termasuk di Indonesia. Meskipun terdapat istilah atau simbol-simbol lain sesuai jamannya. Interaksi, kontradiksi, tarik menarik kepentingan, semua terjalin dalam tiga kata kuci tersebut.
Terus, kenapa kita, Indonesia, tidak pernah berhasil menggapai keselarasan atas tiga kata kunci tersebut? Padahal, masih menurut pengamatan penulis, setiap negara ketika berhasil menyelesaikan masalah atas tiga kata kunci tersebut, maka negara akan mengalami kemajuan dan kebesarannya. Kita lihat sejarah negara-negara yang berhasil leading sebagai negara maju, pasti telah dapat melakukan “manajemen” tiga kata kunci tersebut. Amerika Serikat, Negara-negara Eropa, Jepang, Cina, Korea Selatan, Singapura, dan lainnya. Kesimpulannya? Tiga kata kunci tersebut harus di-manage sedemikian rupa, dan negara berhasil menggiring menuju kemajuannya. Apakah itu juga benar?
Tapi jangan lupa, ternyata negara-negara tersebut sebenarnya tidak menyelesaikannya. Manajemen tiga kata kunci tersebut ternyata digiring pada interaksi lintas negara. Negara-negara tersebut meng-ekspor tiga kata kunci menjadi kata kunci untuk berhadapan dengan negara lainnya. Untuk apa? Inilah yang disebut “Hegemony and Power”. Ya, kesatuan dari dua kata itulah yang mungkin penting dan merupakan perasan dari tiga kata kunci, demokrasi, pendewasaan bernegara, dan pressure group. Setiap negara maju sebenarnya berhasil melakukan “trick and trap” tiga kata kunci menjadi “weapon” untuk menggapai “hegemony and power”. Hegemony politik, ekonomi, sains dan teknologi, dan apapun yang mungkin, atas ratusan negara yang pasrah, gamang maupun menentang. Power regulasi internasional dan pencitraan media, sosial dan apapun yang mungkin atas ratusan negara yang pasrah, gamang maupun menentang.
“Hegemony and Power”, bila kita amati, saat ini telah memasuki relung demokrasi, pendewasaan bernegara dan pressure group di tiap negara yang pasrah, gamang maupun menentang. Akankah itu berlanjut? Apakah Indonesia telah pula larut dalam ketidakberdayaan Hegemony and Power dari luar? Sedemikian parahkah kondisi kita?
Mungkin benar, mengapa Sudjatmoko sejak lama mengingatkan kita untuk membangun kemandirian budaya kita sendiri, Itu pulalah yang dilakukan oleh Jepang saat Restorasi Meiji dengan program membangun kembali peradaban dan budaya mereka menghadapi modernisasi; Cina dengan Program Tirai Bambunya untuk menghadapi Globalisasi dan Neoliberalisme, dan lainnya.
Tetapi semuanya itu hanya program menghadapi perubahan dan kita larut di dalamnya, bercengkerama serta menjadi bagian untuk menegakkan “Hegemony and Power”. Selanjutnya, melakukan intervensi dan penindasan pada setiap wilayah yang diperlukan untuk menegakkan harga diri serta langgengnya “Hegemony dan Power”.
Atau ada jalan lain yang lebih altruistik? Ya mungkin kita perlu melakukan seperti dicontohkan Muhammad saw., melakukan hijrah dan mendeklarasikan Piagam Madinah untuk membangun Peradaban berusia 1000 tahun penuh kesetaraan dan keberkahan. Bukannya hegemony dan power. Wallahua'lam.
Singosari, 15 Nopember 2007
No comments:
Post a Comment