Pages

20 September 2007

HABITUS CULTUURSTELSEL RAKYAT: PESAN UNTUK RUU UMKM

Pendahuluan

Di tengah-tengah terjadinya gelombang besar neoliberalism (lewat liberalisasi dan deregulasi pro pasar) sebagai puncak dari pelaksanaan 10 kebijakan Washington Consencus tahun 1989, permasalahan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) di Indonesia atau sekarang definisinya menjadi “garis linier menurun” disebut Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM), tak kunjung selesai dibicarakan, didiskusikan, “direkayasa”, diupayakan penguatannya, bahkan - sampai yang katanya - “diposisikan” sebagai salah satu tiang utama perekonomian nasional.
Pendekatan penguatan UKM/UMKM (yang semuanya masuk dalam UU No. 9 tahun 1995 tentang Usaha Kecil maupun draft RUU UMKM) dilakukan mulai dari akademik (penelitian, pelatihan, seminar-seminar, sosialisasi teknologi), pemberdayaan (akses pembiayaan, peluang usaha, kemitraan, pemasaran, dll), regulatif (legislasi dan perundang-undangan), kebijakan publik (pembentukan kementrian khusus di pemerintahan pusat sampai dinas di kota/kabupaten, pembentukan lembaga-lembaga profesi), sosiologis (pendampingan formal dan informal), behavior (perubahan perilaku usaha, profesionalisme). Bahkan sampai pada pendekatan sinergis-konstruktif (program nasional Jaring Pengaman Nasional, pengentasan kemiskinan, Pembentukan Lembaga Penjaminan, Pembentukan UKM-UKM Center daerah sampai nasional).
Hasilnya, UKM dari tahun ke tahun jumlahnya naik, dari 40 juta tahun 2001 menjadi 44 juta tahun 2007. Kontribusinya pada PDB makin menurun, dari 41,07% tahun 2003 menjadi 40,36% tahun 2004. Berbeda dengan Usaha Besar, yang jumlahnya relative tetap, yaitu sekitar 2500 perusahaan. Tetapi kontribusinya pada PDB selalu meningkat dari tahun ke tahun, dari 43,33% tahun 2003 menjadi 44,12%. L


Ekonomi Rakyat vs UMKM

Perdebatan mengenai kedudukan UMKM di Indonesia atau dalam konteks Ekonomi Pancasila saat ini berada pada “persimpangan jalan” implementasi pasal 33 UUD 1945. Turunannya bisa berbentuk Ekonomi Pancasila versi Kementrian Koperasi dan UMKM, atau Ekonomi Kerakyatan/Koperasi versi Hatta dan para penerusnya. Bagi pendukung gerakan ini UKM adalah istilah Bank Dunia dan IMF, terjemahan dari Small and Medium Enterprises. UKM secara implisit kata Mubyarto (2002) adalah representasi kooptasi globalisasi dan neoliberalisme untuk mematikan ekonomi rakyat.
Istilah ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi menurut para pendukungnya bukanlah kooptasi dan pengkerdilan usaha mayoritas rakyat Indonesia, tetapi merupakan kegiatan produksi dan konsumsi yang dilakukan oleh semua warga masyarakat dan untuk warga masyarakat, sedangkan pengelolaannya dibawah pimpinan dan pengawasan anggota masyarakat sendiri (Mubyarto, 2002).

Habitus dan Doxa Cultuurstelsel dalam Jiwa UMKM

Apakah memang benar kata Pierre Bourdieu bahwa setiap manusia dan realitas sosial dipengaruhi oleh Habitus? Menurut Bourdieu setiap individu dalam realitas (practice) tidak semata-mata menjalankan produk sosial tetapi juga dipengaruhi kerangka pikir dan menterjemah dalam perilaku individu (Bourdieu dan Wacquant, 1992). Habitus dapat dikatakan sebagai “blinkering perception of reality” (Fowler 1997 dalam Wainwright 2000, 10). Artinya, habitus lanjut Takwin (2005, xviii-xix) habitus merupakan hasil pembelajaran lewat pengalaman, aktivitas bermain dan pendidikan masyarakat dalam arti luas. Pembelajaran terjadi secara halus (disebut doxa oleh Bourdieu), tidak disadari dan tampil sebagai hal wajar, sehingga seolah-olah sesuatu yang alamiah, seakan-akan terberi oleh alam.
Ketika tesis Sritua Arif (1995) benar bahwa masyarakat Indonesia telah terkooptasi secara “turun-temurun” oleh budaya cultuurstelsel Belanda selama 350 tahun, maka menjadi logislah kita semua masih senang didominasi oleh gerakan “tanam paksa” Neoliberal. Cultuurstelsel telah menjadi habitus rakyat Indonesia lewat doxa kapitalisme, Neoliberalisme Ekonomi. Ekonomi Rakyat sebagai idealisme perekonomian Hatta ternyata pula telah tergerus oleh doxa Neoliberalisme Ekonomi. Neoliberalisme Ekonomi bahkan telah menjadi (dikatakan oleh Bourdieu) sebagai symbolic violence, kejahatan simbolis dari doxa.
Bentuk konkrit habitus cultuurstelsel, Usaha Besar harus menjadi pusat kendali dari trickle down effect dalam bursa efek, mega-industri sampai oligopoli pasar nasional. Sedangkan UMKM yang 99% hanyalah menjadi tiang penopang ekonomi (dan sesungguhnya pula hanya sebagai pelengkap penderita) dalam bentuk subordinasi untuk Usaha Besar. Itulah yang terpotret dalam jiwa RUU UMKM kita. Definisi UMKM telah menjadi Habitus rakyat Indonesia, lewat doxa kapitalisme untuk menggeser “hati nurani” pasal 33 UUD 1945.

Ekonomi Rakyat “Baru”?

Mementingkan akses pendanaan, pemasaran, kuota, hak atas saham milik BUMN bagi Koperasi dan UMKM, redistribusi aset kalau perlu, pemberdayaan diri, pemberdayaan sosial, teknologi, pelatihan, dan bentuk-bentuk materi-egoistik memang dapat bermanfaat bagi penguatan ekonomi rakyat atau Koperasi dan UMKM. Tetapi perlu diingat bahwa Pasal 33 UUD 1945 tidak dapat dibaca hanya sebagai salah satu penggalan kepentingan ekonomi masyarakat Indonesia. Kemakmuran ekonomi masyarakat bukan hanya perwujudan pasal 33 UUD 1945. Pasal 33 hanyalah salah satu bagian dari seluruh kehendak rakyat Indonesia yang holistik yaitu menginginkan kesejahteraan sosial, ekonomi, politik, budaya, lahir dan batin, serta mewujudkan harkat martabat manusia berke-Tuhan-an.
Menjadi benarlah pesan HOS Tjokroaminoto: “keluar dari kapitalisme menuju sosialisme tidaklah berguna, karena keduanya masih menuhankan benda. Ekonomi yang benar adalah ekonomi untuk rakyat, ekonomi berorientasi kebersamaan, bermoral, memiliki tanggung jawab sosial dan paling penting tanggungjawab pada Tuhan.” Tetapi, religiusitas ekonomi rakyat bukanlah religiusitas gaya spiritual company yang menggunakan spiritualitas untuk kepentingan keuntungan ekonomi atau apapunlah. Ekonomi rakyat haruslah utuh dan kokoh bersandar pada kepentingan jangka panjang, Jalan Tuhan. Insya Allah.

Singosari, 6 September 2007, menjelang Ramadhan.

No comments: