1. PENDAHULUAN
Segala puji hanya untuk Allah SWT. Salawat serta salam semoga tercurah kepada Muhammad saw., keluarga serta pengikutnya yang setia. Rujukan Islamisasi Ilmu biasanya berpusat pada dua tokoh utama, yaitu Ismail Raji Al Faruqi dan Syed Muhammad Naquib Al-Attas tahun 1984-1985. Pemikiran Faruqi dan Al Attas tentang Islamisasi Ilmu diilhami oleh Muhammad Abduh dan lebih menajam pada sosok Muhammad Iqbal tahun 1928 yang menggagas rekonstruksi pemikiran Islam di awal abad XX.
Bila dirunut dari awal, berdasarkan kronologis mainstream Islamisasi Ilmu, biasanya diukur dari keresahan para intelektual di awal abad XX, yang menurut Al-Faruqi dilakukan oleh para ”guru paling terkemuka” yaitu Muhammad Abduh dan Muhammad Iqbal[1] (semoga Allah selalu memberkati dan memberikan tempat yang sempurna di sisi-Nya). Terutama Iqbal dalam bukunya yang sangat revolusioner, berjudul ”The Reconstruction of Religious Thought in Islam”[2] yang merupakan kumpulan ceramah-ceramah filosofis beliau. Enam ceramah dilakukan Iqbal di Madras dan 1 ceramah dilakukan di Inggris selama tahun 1928.. Menurut Wan Daud (2003, 389) pikiran-pikiran filosofis Iqbal merupakan pikiran yang mendahului jamannya. Fazlur Rahman menyebut Iqbal sebagai seorang Tasawuf Positif.
2. ISMA’IL RAJI AL FARUQI
Islamisasi Ilmu sendiri secara formal-linguistik biasanya ditujukan pada Ismail Raji Al Faruqi. Menurut Al-Faruqi (1995), Islamisasi Pengetahuan sebenarnya merupakan satu tugas yang serupa sifatnya dengan tugas yang pernah dimainkan oleh nenek moyang kita yang mencerna ilmu zaman mereka dan mewariskan kepada kita peradaban dan kebudayaan Islam, walaupun ruang lingkupnya kini lebih luas. Pengertian Islamisasi Pengetahuan bagi Al-Faruqi adalah penguasaan semua disiplin Modern dengan sempurna, melakukan integrasi dalam utuhan warisan Islam dengan eliminasi, perubahan, penafsiran kembali dan penyesuaian terhadap komponen-komponen pandangan dunia Islam dan menetapkan nilai-nilainya (Al Faruqi 1995, 34-35).
Islamisasi Ilmu harus merujuk pada tiga sumbu Tawhid, yaitu kesatuan pengetahuan, kesatuan hidup dan kesatuan sejarah. Kesatuan pengetahuan berkaitan dengan tidak ada lagi pemisahan pengetahuan rasional (aqli) dan tidak rasional (naqli). Kesatuan hidup berkaitan dengan semua pengetahuan yang harus mengacu pada tujuan penciptaan, yang berdampak lanjutan pada tidak bebasnya pengetahuan dari nilai, yaitu nilai Ketuhanan. Kesatuan sejarah berkaitan kesatuan disiplin yang harus mengarah sifat keuumatan dan mengabdi pada tujuan-tujuan ummah di dalam sejarah.
Tiga prinsip kesatuan, dengan demikian tidak lagi melakukan pembagian pengetahuan dalam sains-sains yang bersifat individual maupun yang sosial, semua disiplin bersifat humanistis dan ummatis (Al Faruqi 1995, xii). Menurut Al Faruqi (1995, xii) untuk menjalankan tiga prinsip kesatuan tersebut diperlukan penjelasan teknis yang disebutnya sebagai Dua Belas Langkah Rencana Kerja Islamisasi Pengetahuan (lebih detil lihat Faruqi 1995). Inti dari Islamisasi adalah sintesa kreatif ilmu-ilmu Islam tradisional dan disiplin-disiplin ilmu Modern. Sintesa ini diharapkan Al-Faruqi memberikan solusi bagi permasalahan masyarakat muslim, yang digulirkan menjadi bentuk buku-buku daras dan kurikulum pendidikan yang sesuai dengan nilai-nilai Islam dan realitas masyarakat muslim.
Langkah-langkah konkrit Al-Faruqi bukanlah sebuah model yang selesai. Banyak pengembangan dan kritik disampaikan, misalnya pengembangan yang dilakukan oleh International Institute of Islamic Thought (IIIT) yang didirikan sendiri oleh Faruqi. Atau bahkan kritik yang disampaikan oleh Sardar (1987), Al-Attas dan banyak lagi di Indonesia seperti Mahzar (2005) dan Kuntowijoyo (2004). Menurut saya apa yang dilakukan oleh Al Faruqi sebenarnya mirip dengan konsep koeksistensi (epistemologi berpasangan) atau epistemologi profetik dari Kuntowijoyo. Model yang agak berbeda adalah bentuk Islamisasi dari Al-Attas (Islamisasi Bahasa), Sardar (Islamisasi Sains dan Teknologi dalam konteks Peradaban) dan Mahzar (Islamisasi Teknologi).
Pengembangan tahapan Islamisasi Ilmu oleh Safi (1996) dari IIIT misalnya dengan meringkas Dua Belas Langkah Faruqi menjadi Tiga Langkah yang lebih umum. Sedangkan kritik Sardar (1987, 85) atas proyek dan langkah Islamisasi Faruqi, adalah pada pengabaian realitas epistemologis Barat yang membangun dunia modern saat ini. Proyek Islamisasi Faruqi seakan tidak melihat kekuatan epistemologi Barat yang mendominasi seluruh lini pengetahuan yang telah berkembang saat ini. Sardar (1987, 90) menegaskan bahwa yang paling penting sebelum dilakukan proses praktis seperti Islamisasi model Faruqi adalah melakukan perubahan epistemologis Barat terlebih dahulu (Sardar 1987, 85-106).
3. SYED MUHAMMAD NAQUIB AL ATTAS
Wan Daud (2003), murid Syed Muhammad Naquib Al Attas, menganggap bahwa Al Attas adalah source awal Islamisasi Ilmu berasal. Hal ini dibuktikan dengan surat menyurat yang dilakukan oleh Faruqi dan Al-Attas berkaitan dengan pemberdayaan keilmuan masyarakat muslim. Kritik Al-Attas terhadap Islamisasi yang dilakukan Faruqi, bahwa Faruqi hanya melakukan Islamisasi ilmu kontemporer saja, dan tidak melakukan rekonstruksi atas ilmu (disebut Al Attas sebagai Turath Islamyy) (Hashim 2005). Proses Islamisasi harus melakukan dua langkah utama, yaitu proses verifikasi dan proses penyerapan dengan batasan-batasan tertentu. Proses Islamisasi adalah proses sintesis seperti dilakukan Faruqi. Sintesa dapat dilakukan ketika konsep-konsep Barat telah disaring dan direduksi unsur-unsurnya. Yang paling penting, lanjut Al-Attas, Islamisasi Al Faruqi mengecilkan peran tassawuf. Bagi Al-Attas, tassawuf adalah cara yang harus pula dilakukan untuk menyelamatkan manusia dari cengkeraman empirisme, pragmatisme, materialisme dan rasionalisme sempit yang merupakan sumber utama sains modern. Masuknya konsep tassawuf menurut Al-Attas akan memberi arah yang benar pada kesatuan akal, jiwa, intuisi dan spiritualitas.
Islamisasi Ilmu, menurut Sardar (1987, 67) merupakan bagian dari bangunan Peradaban Islam yang pada hakikatnya adalah proses penguraian pandangan dunia Islam secara teoritis sekaligus praktis, masing-masing menunjang satu sama lainnya, teori membentuk praktik dan perilaku, dan praktik memperbaiki teori. Pembangunan kembali bukan hanya tugas pribadi-pribadi tetapi merupakan tugas kelompok yang memerlukan usaha banyak sarjana dengan latar belakang dan disiplin ilmu berbeda-beda, semuanya memusatkan perhatian dan bakat mereka pada usaha interdisipliner untuk membangun kembali Peradaban. Usaha peradaban adalah usaha pencarian global yang harus mencakup seluruh unsur pemikiran dan tindakan ummah. Tetapi setiap langkah menuju masa depan memerlukan penguraian lebih jauh atas pandangan dunia (world view/paradigm) Islam, suatu kebutuhan akan prinsip ijtihad yang dinamis yang memungkinkan peradaban Muslim untuk menyesuaikan diri dengan keadaan yang terus berubah. Mulai dari struktur politik dan sosial, ekonomi, lingkungan, sains dan teknologi yang semuanya berinduk pada pandangan dunia yang utuh, Pandangan Dunia Islam. Ciri unik pandangan dunia Islam adalah bahwa dia mengetengahkan suatu pandangan interaktif dan terpadu yang diikat oleh nilai utama, Tawhid.
4. HOS TJOKROAMINOTO: AWAL ISLAMISASI?
Hadji Oemar Said Tjokroaminoto lahir di Ponorogo, tanggal 6 Agustus 1882, meninggal dunia pada tanggal 17 Desember 1934, dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Pekuncen, Yogyakarta. Tjokroaminoto biasanya hanya dikenal sebagai politikus dan pejuang kemerdekaan Indonesia. Beliau dapat dianggap sebagai ilmuwan otodidak yang banyak mempengaruhi pemikiran para tokoh kemerdekaan seperti Semaun yang sosialis, Soekarno yang nasionalis, dan Kartosuwiryo yang agamis.
Sarekat Dagang Indonesia (SDI) muncul tahun 1905 dari tokoh awalnya H. Samanhudi dan menjadi besar berkat sentuhan tangan HOS Tjokroaminoto tahun 1913 (Gonggong 1985). HOS Tjokroaminoto dalam perjalanan sejarahnya telah mendistribusikan pemikiran model bisnis (baik praktik, konseptual sampai politik) Islam versi Indonesia dari semangat komunitas SDI. SDI memang menjalankan mekanisme yang mirip dengan gagasan Ekonomi Islam awal dari Muhammad saw.
Anggota SDI awal didominasi para produsen sekaligus pedagang dengan semangat Islamnya mempertahankan gaya bisnisnya dari tekanan Belanda melalui subordinasinya, yaitu para pedagang Cina (Noer 1996). Konsep ekonomi khas SDI dapat dilihat dari pemikiran Tjokroaminoto dalam buku fenomenalnya, Islam dan Sosialisme yang terbit tahun 1925. Bila dilihat dari waktu terbitnya buku ini jelas sekali apa yang dilakukan oleh Tjokroaminoto mendahului apa yang dilakukan Faruqi dan Al-Attas, bahkan Iqbal sekalipun.
Beberapa pemikiran utama Tjokroaminoto dengan tekanan konsep ekonomi dan sosial Islam seperti dijelaskan sendiri oleh beliau (Tjokroaminoto 1950, 17):
Hanya Islam itu saja agama yang mencampurkan perkara lahir dengan perkara batin. Islam memberi aturan untuk pedoman bagi perikehidupan batin dan juga pedoman bagi pergaulan hidup bersama, bagi perkara-perkara politik, pemerintahan negeri, militer, kehakiman dan perdagangan dunia.
Penolakannya terhadap prinsip sosialisme yang materialistik telah menempatkan Tjokroaminoto sebagai salah satu pemikir Indonesia paling awal dengan proses Islamisasi Ilmu, yaitu Islamisasi konsep Sosialisme Marxist[3]. Statemen yang jelas-jelas memberikan stimulasi awal bagi Tjokroaminoto untuk melakukan Islamisasi konsep atau paham Sosialisme (Tjokroaminoto 1950, 17-23):
Saya tidak bisa menutup pendahuluan ini, kalau lebih dulu saja belum menguraikan sosialisme yang pada dewasa ini umumnya dipeluk oleh kaum Sosialis dan juga oleh kaum Communist di negeri-negeri Barat, yaitu yang lumrahnya dosebut wefenschappeliik socialisme (socialisme berdasar pengetahuan) atau disebut Marxisme namanya. Maksudnya uraian ini ialah buat menunjukkan, bahwa kita orang Islam tidak boleh dan tidak dapat menerima segenapnya wefenschappeliik socialisme pelajarannya Karl Marx itu. Meskipun wefenschappeliik socialisme menampak dan mengakui dirinya satu peraturan tentang urusan harta benda (economisch stelsel), tetapi sesungguhnya Marxisme itu sama sekali berdiri di atas dasar cita-cita semata-mata beralasan perkara hikmah belaka (wrisgeerige basis)... Agaknya kita tidak tersesat kalau kita mengatakan bukan saja historisch materialisme itu mungkir kepada Allah, tetapi historisch materialisme juga ber-Tuhankan benda disini tidak berarti: senang atau cinta kepada benda, tetapi berarti perkataan yang sebenarnya: benda dijadikannya Tuhan, daripada paham ini diterangkan, bahwa benda itu asalnya segala sesuatu, asalnya sifat asalnya perasaan dan asalnya hidup yang lebih tinggi. Mungkir kepada Allah, dan ber-Tuhankan benda!
Berdasarkan kesalahan ontologis dan epistemologis Materialisme Historis Marxis itulah kemudian Tjokroaminoto melakukan Islamisasi ajaran Sosialisme Marxis, yaitu yang disebutnya dengan Sosialisme Cara Islam. Sosialisme Cara Islam bertujuan untuk melaksanakan kedamaian dan keselamatan berdasarkan pada tafsir kata Islam yang memiliki 4 makna utama, yaitu:
1. Aslama, maknanya ketundukan. Ketundukan harus diiutamakan kepada Allah, kepada Rasul dan Para nabi serta kepada pemimpin Islam.
2. Salima, maknanya keselamatan. Kesematan di dunia dan akherat apabila setiap muslim menjalankan ajaran Islam secara sungguh-sungguh.
3. Salmi, maknanya kerukunan. Kerukunan harus dilaksanakan dan diimplementasikan di antara sesama Muslim.
4. Sulami, maknanya tangga. Setiap muslim yang menjalankan ajarannya dengan sungguh-sungguh haruslah melalui tingkatan-tingkatan yang bermakna keselarasan dunia dan akhirat sebagai simbol menuju derajat kesempurnaan hidup.
Berdasarkan 4 makna Islam itulah Tjokroaminoto kemudian menggagas Dua Prinsip Utama Sosialisme Cara Islam, yaitu Kedermawanan Islami dan Persaudaraan Islam (Tjokroaminoto 1950, 28-32). Kedermawanan Islami sebagai prinsip bukanlah melakukan sedekah sebagai kebajikan semata, tetapi sedekah adalah kewajiban untuk meraih cinta Allah. Kedermawanan untuk meraih cinta Allah akan berdampak pada tiga hal. Pertama, menempatkan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi untuk mencapai Keridhaan Allah. Kedua, zakat sebagai dasar bagi distribusi dan pemerataan kekayaan untuk seluruh masyarakat. Ketiga, kemiskinan dunia bukanlah kehinaan, tetapi kejahatan dunia adalah kehinaan. Prinsip kedua, yaitu Persaudaraan Islam, menekankan persaudaraan yang dibangun bukan dibangun berdasarkan pada suku, warna kulit, ras, kekayaan atau lainnya, tetapi berdasar pada ketakwaan.
5. CATATAN AKHIR
Tak dapat dipungkiri, gagasan orisinil HOS Tjokroaminoto mengenai Sosialisme Cara Islam yang diluncurkan pada bulan Nopember tahun 1924 adalah warisan tak ternilai bagi masyarakat intelektual muslim Indonesia bahkan dunia Muslim secara umum. HOS Tjokroaminoto adalah sosok pejuang, politikus sekaligus ilmuwan. Obor perjuangan yang utuh sebagai seorang Muslim sederhana, Raja Tanpa Mahkota, Ratu Adil bagi wong cilik. Hormat Selalu untukmu Pak Tjokro. Ya Allah ampunilah dosa-dosanya, berilah ruang di sisiMu bersama para Mujahid sepanjang jaman. Amin.
Footnote
[1] Sering dijadikan pijakan awal Islamisasi Ilmu di awal abad 20 dalam tataran filosofis
[2] Buku ini telah diterjemahkan pertama kali dalam bahasa Indonesia dengan judul “Membangun Kembali Pikiran Agama dalam Islam” oleh Penerbit Tintamas Jakarta tahun 1966.
[3] Tanggungjawab intelektual Tjokroaminoto untuk melakukan Islamisasi Konsep Sosialisme Marxis sebenarnya tidak lepas dari realitas sosial politik waktu itu. Sarekat Islam waktu itu sebagai gerakan perlawanan untuk kemerdekaan Indonesia telah mulai disusupi gerakan komunis-marxis. Gerakan komunis-marxis menampakkan kekuatannya secara formal saat berlangsungnya Kongres Nasional SI ke-3 di Surabaya pada tanggal 29 September – 6 Oktober 1918. Gerakan yang nantinya menjadi sempalan dan dinamakan SI-Merah itu dimotori oleh Semaun, ketua SI Cabang Semarang yang juga ketua ISDV (partai komunis pimpinan Snevliet) di Semarang.
REFERENSI
Al-Faruqi, Ismail Raji. 1995. Islamisasi Pengetahuan. Terjemahan. Penerbit Pustaka. Bandung
Gonggong, Anhar. 1985. HOS. Tjokroaminoto. Depdikbud. Jakarta
Hashim, Rosnani. 2005. Gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan Kontemporer: Sejarah, Perkembangan dan Arah Tujuan. ISLAMIA. II (6), Juli-September. hal. 29-45.
Noer, Deliar. 1996. Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942. Terjemahan. Cetakan Kedelapan. LP3ES. Jakarta.
Sardar, Ziauddin. 1987. Masa Depan Islam. Terjemahan. Penerbit Pustaka. Bandung.
Tjokroaminoto, HOS. 1950. Islam dan Socialisme. Edisi Cetak Ulang oleh Anwar Tjokroaminoto dan Harsono Tjokroaminoto. Jakarta.
Wan Daud, Wan Mohd Nor. 2003. Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al-Attas. Terjemahan. Penerbit Mizan. Bandung.